Sabtu, 23 Mei 2015

Empati sebagai salah satu kompetensi konselor

MAKALAH
PENGEMBANGAN PROFESI KONSELOR
logoUNJ_5.jpg








Tiara Oktaviani             1715121279
Lina Ferawati                1715121288
Fathiah Khoiriah           1715121301
Nurul Fazriah                1715121305
Riana Damayanti          1715121312

BK REGULER 2012 

Bimbingan dan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Jakarta
2015

1. Pengertian Empati
Stewart (1986) merumuskan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat orang lain supaya bisa memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaannya. Empati menuntut untuk masuk ke pandangan dunia klien dan untuk melihat dengan mata mereka dan selanjutnya “to walk in their shoe”.
Rogers, empati berarti memasukkan dunia klien beserta perasaan-perasaannya ke dalam diri sendiri tanpa terhanyut oleh pikiran dan perasaan klien (Hackney, 1978).
Empati juga dapat diartikan kepribadian yang ikut merasa dan berpikir ke dalam kepribadian lain sehingga tercapai suatu keadaan identifikasi. Dalam identifikasi ini pemahaman antar manusia yang sebenarnya dapat terjadi. Dalam kenyataanya, tanpa empati tidak mungkin ada pengertian. Pengalaman empati terjadi pada konselor berhari-hari baik ia mengenalinya atau tidak. Empati tampaknya sulit dipahami justru karena empati merupakan sesuatu yang sudah umum dikenali serta mendasar. Seperti yang ditunjukkan oleh Adler, bahwa identifikasi kepada diri seseorang ini muncul sampai batas-batas tertentu dalam setiap percakapan. Empati merupakan proses mendasar dalam cinta. Dalam konseling, konselor yang efektif berusaha untuk melihat dan memahami masalah yang dihadapi konseli dari sudut pandang konseli itu.
Adler mengenali empati sebagai salah satu fungsi kreatif dalam kepribadian, dengan menyatakan bahwa: Empati terjadi pada saat seorang manusia berbicara (satu sam lain). Tidak memungkinkan untuk memahami individu lain jika tidak memungkinkan pula untuk mengidentifikasikan diri dengan lawan bicara. Jika kita mencari asal usul kemampuan bertindak dan merasa seolah diri kita ini orang lain ini, kita dapat menemukannya dalam keberadaan perasaan sosial bawaan. Pada kenyataanya, ini merupakan perasaan kosmis dan refleksi dari keterkaitan kosmos seluruhnya yang ada dalam diri kita; karakteristik yang tak dapat dielakkan sebagai manusia.

2. Peran Empati dalam Perkembangan Moral
Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka seseorang kepada emosi diri sendiri, semakin ia membaca perasaan (Golemen, 1997). Kegagalan untuk medapat perasaan orang lain, merupakan kekurangan utama dalam kecerdasan emosional, dan catatab yang menyedihkan sebagai seorang manusia. Setiap hubungan yang merupakan akar kepedullian berasal dari penyesuaian emosional, dari kemampuan untuk berempati, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan dalam kehidupannya. Tiadanya empati juga sangat nyata, yaitu terlihat pada psikopat criminal, pemerkosaan, pemerkosaan anak-anak.
Sikap empati adalah sikap yang terus menerus terlibat dalam pertimbangan-pertimbangan  moral, sebab dilema moral melibatkan calon korban (Goleman, 1997). Hoffman (1984) berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban potensial seseorang dalam keadaan sakit, bahaya, atau kemiskinan, dan ikut serta kemalangan merekalah yang mendorong seseorang untuk bertindak memberi bantuan. Hoffman juga mengatakan bahwa kemampuan yang sama merasakan diberi empati, untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, membuat seseorang menganut prinsip-prinsip moral tertentu.
Menurut Hoffman (1984), bahwa pada masa remaja tingkat emapti paling lanjut muncul ketika mereka sudah sanggup memahami kesulitan-kesulitan yang ada di lingkugannya, dan menyadari bahwa situasi atau staus seseorang dalam kehidupan menjadi sumber bebar stress. Pada tahap ini, mereka dapat merasakna kesengsaraan suatu kelompok masyarakat misalnya kaum miskin, kaum tertindas, mereka yang terkucil dari masyarakat, dan lain-lain. Pemahaman itu, dalam masa remaja dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk meringankan ketidakberuntungan dan ketidakadilan. Kemampuan-kemampuan yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman untuk mengambil sudut pandang orang lain untuk menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain, menurut Dowell (dalam Cremers, 1995) merupakan sumber kesadaran akan persamaan derajat dan timbal balik yang berdasarkan keadilan.
Menurut Duska dan Whelan (1975) empati itu perlu, tetapi bukan kondisi yang mencukupi untuk perkembangan moral. Justru dengan empati inilah orang memperkembangkan suatu pengertian mengenai apakah masyarakat, itu dan mulai menilai tindakan sebagai benar atau salah atas dasar hormat timbal balik.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa factor-faktor efektif sebagai unsur perasaan moral, seperti kemampuan untuk mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah turut berperan dalam perkembangan moral. Memang diakui, bahwa situasi-situasi moral banyak ditentukan secara kognitif oleh pertimbangan pribadi. Namun, perlu juga diketahui bahwa tingkat empati seseorang akan berpengaruh terhadap tindakan-tindakan moralnya.
Pada dasarnya yang diinginkan oleh guru/pendidik adalah membantu anak dan remaja untuk mengembangkan rasa memliki lingkungan (sense of community) dalam keluarga, sekolah, dan dalam segala macam kelompok social dimana mereka menjadi anggotanya. Kemudian pengertian mengenai lingkungan kelompok social ini akan meluas melingkupi seluruh umat manusia tetapi kadar keterlibatannya sekarang ini tergantung dari kepekaannya terhadap lingkungan-lingkungan kelompok sosial yang lebih kecil pada waktu-waktu tersebut.
Empati dan rasa hormat timbal balik haruslah menjadi focus dari program-program pembelajaran moral bagi anak dan remaja, kerena justru kemampuan untuk memahami dari sudut pandang orang lain inilah yang akan membantu mereka dapat berpartisipasi secara lebihpenuh dalam keluarga, sekolah dan lingkungan kelompok teman-temen sebayanya. Kerena fungsi inilah, pengembangan empati dengan menstimulasikan anka dan remaja untuk menempatkan diri di tempat orang lain, menurut Kohlberg merupakan sumbangan yang paling penting dari keluarga dan kelompok sosial dalam perkembangan moral. Dalam suasana yang lebih terstruktur dari pada yang terdapat dalam keluarga dan kelompok sosial, salah satu cara untuk memperkembangkan empeti ini adalah permeinan peran (roll playing), cara ini efektif  baik untuk anak, remaja, maupun orang dewasa.
Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, naming sering diungkapkan melelui isyarat. Kunci untuk memahami perasan orang lain adalam mampu membaca pesan-pesan non-verbal. Penelitian terlengkap mengenai kemampuan orang untuk membaca pesan-pesan non-vebal telah dilakukan oleh Robert Rosenthal (dalam Goleman, 1996). Ia menyusun tes empeti yaitu PONS (Profile of Nonvenbal Sensitivity, Profil kepekaan nonvelbal), yaitu seringkali film video yang menampilkan sdegan-adegan yang memperlihatkan sprektual perasaan mulai dari amarah, memohon ampunan, berterima kasih, sampai merayu. Kemudian penonton diminta mendeteksi emosi dari isyarat nonverbal khusus. Untuk mengetahui tingkat empati anak-anak dan remaja ini dapat digunakan tes skala untuk mengukur empati dalam bentuk pernyataan-pernyataan secara tertulis, yang menggembarkan berbagai macam perasaan perbincanganya. Responden diminta untuk merespon pernyataan tersebut. 


3. Kemampuan Empati
Goleman (1997) menyatakan ada 3 (tiga) karakteristik kemampuan empati yaitu :
  1. Mampu menerima sudut pandang orang lain
Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat.
  1. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain, bukan sekedar pengakuan saja.
  1. Mampu mendengarkan orang lain
Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses empati, antara lain :
  1. Sosialisasi
Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain.

  1. Perkembangan kognitif
Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang mengarah kepada kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (berbeda)
  1. Mood dan Feeling
Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain
  1. Situasi dan tempat
Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain.
  1. Komunikasi
Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan dalam proses empati. Kemampuan empati dapat dilatih atau diasah meskipun usia seseorang telah beranjak dewasa. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar kemampuan empati kita terbentuk.
4. Proses Empati
Menurut Schultz (1991) proses empati bertahap sebagai berikut:
  1. Membayangkan diri dalam kedudukan orang lain. Orang yang tidak pernah membayangkan betapa susahnya menjadi petani, maka dirinya tidak akan dapat menghargai hasil kerja dari petani tersebut. Membayangkan diri seolah-olah menjadi orang lain yang sedang melakukan pekerjaan berat atau merasakan seolah-oah sedang mendapat bencana akan mampu menumbuhkan empati dalam diri terhadap suatu peristiwa yang disaksikannya;
  2. Membandingkan sikap diri sendiri dengan sikap yang dialami oleh orang lain. Memahami kondisi yang dialami orang lain sangatlah sulit, maka dibutuhkan suatu pembelajaran bagaimana seandainya diri sendiri menjadi atau dalam posisi tersebut, apakah juga akan berbuat seperti yang dilakukan orang tersebut atau mempunyai tindakan lain;
  3. Mengambil kesimpulan-kesimpulan dari sikap individu lain dan membandingkannya dengan reaksi khayal apabila berada dalam keadaan yang di alami orang lain. Apabila individu dapat membayangkan suatu peristiwa atau keadaan dan dirinya berada dalam situasi tersebut, maka individu tersebut akan mempunyai sikap yang lebih nyata untuk mengambil tindakan terhadap situasi dan kondisi yang dirasakan secara langsung.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa proses empati bertahap sebagai berikut:
  1. Membayangkan diri dalam kedudukan orang lain;
  2. Membandingkan sikap diri sendiri dengan sikap yang dialami oleh orang lain;
  3. Mengambil kesimpulan-kesimpulan dari sikap individu lain dan membandingkannya dengan reaksi khayal apabila berada dalam keadaan yang di alami orang lain.
 5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Empati
Shapiro (1997) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi empati yaitu:
  1. Faktor kognitif
Bertambah matangnya wawasan dan ketrampilan kognitif, anak-anak secara bertahap belajar mengenali tanda-tanda kesedihan orang lain dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat;
  1. Faktor bawaan
Anak laki-laki sama sosialnya dengan anak perempuan tetapi anak cenderung lebih suka memberikan bantuan fisik atau bertindak sebagai pelindung. Sedangkan anak perempuan lebih suka memberikan dukungan psikologis misalnya menghibur anak lain yang sedang sedih;
  1. Faktor pendidikan
Pendidikan khususnya pendidikan agama mengambil peranan penting dalam pelaksanaan empati tersebut. Penerapan akan pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari justru efektif dalam mempengaruhi anak;
  1. Keluarga
Penerapan peraturan keluarga yang jelas, konsisten dan tidak mudah memberikan memberikan keringanan kepada anak serta tuntutan akan tanggung jawab kepada anak tanpa adanya imbalan apapun akan mempengaruhi serta menghasilkan anak yang peduli, tanggung jawab, peka dan lebih penyayang;
  1. Pengalaman akan perilaku empati
Praktek akan perilaku simpatik dapat mempengaruhi hidup manusia. Pelaksanaan kebaikan secara acak dan melibatkan diri dalam kegiatan bermasyarakat akan mengajari anak akan pengalaman untuk melakukan perilaku empati serta lebih peduli pada orang lain.

6. Dasar-Dasar dalam Kemampuan untuk Berempati
Egan (1986) mengemukakan bahwa ada dua kemampuan dasar dalam melakukan empati. Kemampuan dasar tersebut merupakan suatu proses yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dan selalu berjalan bersama-sama. Kemampuan dasar dalam berempati tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Attending
Sebelum seseorang memberikan respon kepada orang lain dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, maka orang tersebut pertama kali harus memperhatikan orang lain dan mendengarkan secara hati-hati pada apa yang akan dikatakan. Apa yang ingin dicapai ini bukanlah kemampuan seseorang untuk mengulangi kata-kata orang lain. Attending membawah pada kehadiran seseorang secara utuh sangat diharapkan, artinya adalah kehadiran baik secara fisik maupun secara sosial emosional dari orang lain. Pietrofesa et.al (1978) mengatakan bahwa perilaku attending secara khusus banyak terdapat dalam komunikasi non verbal.
Perilaku attending tersebut dapat mengkomunikasikan penghargaan, penuh perhatian pada orang lain dan mencakup isi-isi yang penting untuk hubungan yang bertujuan membantu orang lain (helping relationship). Hal ini dapat mengekspresikan pada orang lain sebuah tingkatan yang saling menerima, membuktikan suatu persetujuan, penolakan dan perbedaan dari seseorang dan secara sederhana merefleksikan kemampuan dasar interpersonal yang baik dalam setiap aspek kehidupan manusia. Attending yang baik menampilkan seseorang untuk mendengarkan secara penuh atau pada apa yang dikatakan oleh orang lain baik secara verbal maupun non verbal. Sebuah perilaku attending yang efektif mencakup:
1)      Kontak mata. Seseorang yang sedang berbicara memandang pada mata tetapi hal ini bukanlah pandangan utama dan satu-satunya yang akan menimbulkan suatu tekanan pada penerima. Hal ini dapat dipertahankan untuk beberapa waktu yang agak panjang. Perilaku kontak mata dapat menimbulkan kepercayaan seseorang maupun ketidakpercayaan seseorang pada orang lain. Kepercayaan terhadap orang lain dapat timbul ketika seseorang tidak memandang pada mata sehingga akan menimbulkan keadaan yang tidak nyaman bagi dirinya, namun dengan penghindaran kontak mata dapat pula berarti suatu penghargaan terhadap orang tersebut. Hal ini tergantung dan pengaruh dari kebudayaan. Kontak mata dalam sebuah percakapan merupakan isi dasar yang penting dalam perilaku attending (Pietrofesa, 1968).
2)      Posisi tubuh yang bergerak maju. Mengindikasikan pengaruh yang utuh dari sebuah perilaku, misalnya keadaan untuk siap kerja. Beberapa posisi dalam attending mungkin dapat membantu orang lain untuk mendengarkan secara efektif.
3)      Posisi tubuh yang terbuka. Posisi tubuh yang baik seharusnya tidak dengan menyilangkan tangan atau kaki karena dapat mengindikasikan berpegang teguh pada diri sendiri pada tingkatan tertentu.
4)      Menghadapi seseorang yang berbicara secara utuh atau menyeluruh.
5)      Bersahabat dengan orang lain melalui ekspresi wajah.
6)      Pemberian nilai yang tertunda, artinya dalam attending seseorang memberikan nilai memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan tentang orang lain maupun masalah yang dihadapi oleh orang lain.
7)      Menghindari gangguan dari seseorang. Dalam  perilaku attending tersebut seseorang harus sadar dan mengurangi gangguan yang berhubungan dengan hal-hal fisik sesedikit mungkin
8)      Active listening. Attending yang baik akan memudahkan seseorang untuk mendengarkan secara hati-hati pada apa yang dikatakan oleh orang lain baik secara verbal maupun non verbal (Egan,1986). Hal ini disebabkan karena attending dan active listening merupakan suatu proses yang berjalan secara beriringan dalam pelaksanaannya. Menurut Verdeber (1996) mengemukakan bahwa dalam active listening mencakup tiga hal yaitu:
·         Menghadirkan pengertian-pengertian yang tepat pada apa yang dikatakan, melihat keluar tujuan yang berhubungan, melihat tema-tema utama dan informasi yang mendukung
·         Mempertahankan informasi, mengingat ulang informasi yang merupakan kunci dari masalah yang ada, menciptakan nemonik mental untuk daftar-daftar ide dan kata-kata, membuat suatu catatan yang penting;
·         Evaluation. Pada evaluasi pendengar yang baik akan mendengarkan secara kritis, membedakan fakta dari pendukung dan mengevaluasi pendukung masalah.
  1. Cara Berempati

1.      Keberhasilan empati adalah jika klien dapat memahami empati konselor, sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya. Untuk itu sebagai seorang konselor harus bisa memberikan empati yang efektif untuk mencapai tujuannya, yaitu merasakan apa yang dirasakan klien. Dengan demikian empati merupakan latihan yang snagat penting bagi konselor. Hal ini agar konselor memiliki kepribadian yang mampu berkomunikasi dengan klien dan dapat berkomunikasi yang baik dengan klien.
2.      Dan untuk dapat merasakan apa yang dirasakan klien, dipikirkan dan dialami klien, seorang konselor haruslah berusaha, sebagai berikut :
3.      Melihat kerangka rujukan dunia-dalam klien atau kehidupan internal klien.
4.       Menempatkan diri kedalam persepsi internal klien.
5.       Merasakan apa yang dirasakan klien.
6.       Berpikir bersama klien, bukan berpikir tentang atau uuntuk klien.
7.       Menjadi kaca emosional /cermin perasaan klien
8.      Usaha yang dilakukan di atas maka konselor akan dapat memberi kenyamanan kepada klien dan setelah itu klien pun akan leluasa memberikan atau mencurahkan isi hatinya. Karena jika konselor perpikir seperti yang diatas kemungkinan kecil untuk tidak memotong pembicaraan klien.
9.      Empati ini dilakukan oleh seorang konselor dengan menggunakan keterampilan mempengaruhi dengan komponen-komponennya, keterbukaan diri, pengarahan, dan penafisran. Sebab dengan adanya komponen tersebut maka empati akan menjadi mendalam serta nilainya tinggi sehingga segera dapat mengubah perilaku klien.
10.  Usaha seperti diatas maka barulah klien melakukan empati. Sebab empati akan berhasil jika klien dapat memahami empati konselor. Sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan/ mencurahkan dan memecahkan masalahnya.

Maka ada cara berempati yang baik yang dikemukan oleh Sofyan S. Wilis dalam bukunya yang berjudul Konseling Individual Dalam Teori Dan Praktek. Yakni sebagai berikut:
1.      Kosongkan pikiran dari rasa/sikap egoistic.
2.      Amati bahasa tubuh klien, seperti emosi, air muka (mimik), gerak isyarat, dan gerakan yang membawa pesan emosional.
3.      Rasakan kehidupan emosi klien, dan berusaha berada dalam kehidupan internal klien.
4.       Amati verbal klien yang membawa emosi.
5.       Intervensi dengan persyaratan efektif, sesuai dengan keadaan emosi klien (refleksi feeling).
Dari urutan kegiatan di atas ada dua langkah penting untuk memahami emosi klien melalui empati.Yakni : pertama secara tepat merasakan dunia klien melalui perilakunya. Yang kedua adalah secara verbal konselor berbagi pengalaman dengan klien. Dan jika ingin tahu bagaimana tebakan tentang emosi klien itu benar dan jitu. Yaitu jika klien tersebut berkata “yah, itu yang saya maksud.”
Jadi dengan demikian untuk dapat memahami emosi klien, seorang konselor harus melewati empati. Termasuk di dalamnya empati dengan cara masuk langsung ke dunia klien melalui perilakunya. Seperti misalnya konselor melihat perilaku klien saat memberikan wawancara. Dengan demikian akan memudahkan konselor ikut dalam pikiran klien. Yang kedua adalah mengikuti alur yang dikatakan klien (verbal klien). Jika klien merasa sedih dan mimiknya juga sedih maka konselor juga harus demikian. Jangan sampai jika klien mnegatakan atau menceritakan pengalamannya yang sedih, lalu konselor tersenyum atau tertawa. Hal ini tidak akan membuat klien nyaman.




Kesimpulan
Empati berasal kata pathos (dalam bahasa Yunani) yang berarti perasaan yang mendalam. Empati pada awalanya di gunakan untuk menggambarkan suatu pengalaman estetika ke dalam bagian bentuk kesenian. Empati berbeda dangan simpati. Perasaan simpati sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang menggambarkan perasaan seseorang kepada orang lain. Beda antara empati dan simpati adalah, bahwa simpati lebih memusatkan perhatian pada perasaan diri sendiri bagi orang lain, sementara itu perasaan orang lain atau lawan bicaranya kurang diperhatikan. Sedangkan empati lebih memusatkan perasaanya pada kondisi orang lain atau lawan bicaranya. Empati juga hubungan dengan bagaimana orang lain merasakan diri saya, baik masalah saya maupun lingkungan saya.
Empati dan rasa hormat timbal balik haruslah menjadi focus dari program-program pembelajaran moral bagi anak dan remaja, kerena justru kemampuan untuk memahami dari sudut pandang orang lain inilah yang akan membantu mereka dapat berpartisipasi secara lebih penuh dalam keluarga, sekolah dan lingkungan kelompok teman-temen sebayanya
           
Sumber:
Winarti, Euis. (2007). Pengembangan Kepribadian. Jakarta : Graha Ilmu
Shohib, Muhammad. (2009). Empati dan Perilaku Prososial. http://shohibmoe.wordpress.com/content/empati-dan-perilaku-prososial. Di akses Tanggal 08 April 2015
Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

TQSM :D

Firman Suryo mengatakan...

Informasi yang sangat mendidik sis , Terimakasih :)

Unknown mengatakan...

iyaa sama-sama, terima kasih sudah mengunjungi blog kami

Unknown mengatakan...

Nice info sista :)