MAKALAH
PENGEMBANGAN
PROFESI KONSELOR
Tiara Oktaviani 1715121279
Lina Ferawati 1715121288
Fathiah Khoiriah 1715121301
Nurul Fazriah 1715121305
Riana Damayanti 1715121312
BK
REGULER 2012
Bimbingan dan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Jakarta
2015
1. Pengertian Empati
Stewart
(1986) merumuskan empati sebagai kemampuan untuk menempatkan diri di tempat
orang lain supaya bisa memahami dan mengerti kebutuhan dan perasaannya. Empati
menuntut untuk masuk ke pandangan dunia klien dan untuk melihat dengan mata
mereka dan selanjutnya “to walk in their
shoe”.
Rogers,
empati berarti memasukkan dunia klien beserta perasaan-perasaannya ke dalam
diri sendiri tanpa terhanyut oleh pikiran dan perasaan klien (Hackney, 1978).
Empati juga dapat diartikan
kepribadian yang ikut merasa dan berpikir ke dalam kepribadian lain sehingga
tercapai suatu keadaan identifikasi. Dalam identifikasi ini pemahaman antar
manusia yang sebenarnya dapat terjadi. Dalam kenyataanya, tanpa empati tidak
mungkin ada pengertian. Pengalaman empati terjadi pada konselor berhari-hari
baik ia mengenalinya atau tidak. Empati tampaknya sulit dipahami justru karena
empati merupakan sesuatu yang sudah umum dikenali serta mendasar. Seperti yang
ditunjukkan oleh Adler, bahwa identifikasi kepada diri seseorang ini muncul
sampai batas-batas tertentu dalam setiap percakapan. Empati merupakan proses
mendasar dalam cinta. Dalam konseling, konselor yang efektif berusaha untuk
melihat dan memahami masalah yang dihadapi konseli dari sudut pandang konseli
itu.
Adler
mengenali empati sebagai salah satu fungsi kreatif dalam kepribadian, dengan
menyatakan bahwa: Empati terjadi pada saat seorang manusia berbicara (satu sam
lain). Tidak memungkinkan untuk memahami individu lain jika tidak memungkinkan
pula untuk mengidentifikasikan diri dengan lawan bicara. Jika kita mencari asal
usul kemampuan bertindak dan merasa seolah diri kita ini orang lain ini, kita
dapat menemukannya dalam keberadaan perasaan sosial bawaan. Pada kenyataanya,
ini merupakan perasaan kosmis dan refleksi dari keterkaitan kosmos seluruhnya
yang ada dalam diri kita; karakteristik yang tak dapat dielakkan sebagai
manusia.
2.
Peran Empati dalam Perkembangan Moral
Empati
dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka seseorang kepada emosi
diri sendiri, semakin ia membaca perasaan (Golemen, 1997). Kegagalan untuk
medapat perasaan orang lain, merupakan kekurangan utama dalam kecerdasan
emosional, dan catatab yang menyedihkan sebagai seorang manusia. Setiap
hubungan yang merupakan akar kepedullian berasal dari penyesuaian emosional,
dari kemampuan untuk berempati, yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana
perasaan orang lain dan ikut berperan dalam pergulatan dalam kehidupannya.
Tiadanya empati juga sangat nyata, yaitu terlihat pada psikopat criminal,
pemerkosaan, pemerkosaan anak-anak.
Sikap empati
adalah sikap yang terus menerus terlibat dalam pertimbangan-pertimbangan
moral, sebab dilema moral melibatkan calon korban (Goleman, 1997). Hoffman
(1984) berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada
korban potensial seseorang dalam keadaan sakit, bahaya, atau kemiskinan, dan
ikut serta kemalangan merekalah yang mendorong seseorang untuk bertindak
memberi bantuan. Hoffman juga mengatakan bahwa kemampuan yang sama merasakan
diberi empati, untuk menempatkan diri pada posisi orang lain, membuat seseorang
menganut prinsip-prinsip moral tertentu.
Menurut
Hoffman (1984), bahwa pada masa remaja tingkat emapti paling lanjut muncul
ketika mereka sudah sanggup memahami kesulitan-kesulitan yang ada di
lingkugannya, dan menyadari bahwa situasi atau staus seseorang dalam kehidupan
menjadi sumber bebar stress. Pada tahap ini, mereka dapat merasakna
kesengsaraan suatu kelompok masyarakat misalnya kaum miskin, kaum tertindas,
mereka yang terkucil dari masyarakat, dan lain-lain. Pemahaman itu, dalam masa
remaja dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk
meringankan ketidakberuntungan dan ketidakadilan. Kemampuan-kemampuan yang
diperoleh melalui pengalaman-pengalaman untuk mengambil sudut pandang orang
lain untuk menempatkan dirinya ke dalam posisi orang lain, menurut Dowell
(dalam Cremers, 1995) merupakan sumber kesadaran akan persamaan derajat dan
timbal balik yang berdasarkan keadilan.
Menurut Duska
dan Whelan (1975) empati itu perlu, tetapi bukan kondisi yang mencukupi untuk
perkembangan moral. Justru dengan empati inilah orang memperkembangkan suatu
pengertian mengenai apakah masyarakat, itu dan mulai menilai tindakan sebagai
benar atau salah atas dasar hormat timbal balik.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa
factor-faktor efektif sebagai unsur perasaan moral, seperti kemampuan untuk
mengadakan empati dan kemampuan rasa diri bersalah turut berperan dalam
perkembangan moral. Memang diakui, bahwa situasi-situasi moral banyak
ditentukan secara kognitif oleh pertimbangan pribadi. Namun, perlu juga
diketahui bahwa tingkat empati seseorang akan berpengaruh terhadap
tindakan-tindakan moralnya.
Pada
dasarnya yang diinginkan oleh guru/pendidik adalah membantu anak dan remaja
untuk mengembangkan rasa memliki lingkungan (sense of community) dalam
keluarga, sekolah, dan dalam segala macam kelompok social dimana mereka menjadi
anggotanya. Kemudian pengertian mengenai lingkungan kelompok social ini akan
meluas melingkupi seluruh umat manusia tetapi kadar keterlibatannya sekarang
ini tergantung dari kepekaannya terhadap lingkungan-lingkungan kelompok sosial
yang lebih kecil pada waktu-waktu tersebut.
Empati dan
rasa hormat timbal balik haruslah menjadi focus dari program-program
pembelajaran moral bagi anak dan remaja, kerena justru kemampuan untuk memahami
dari sudut pandang orang lain inilah yang akan membantu mereka dapat
berpartisipasi secara lebihpenuh dalam keluarga, sekolah dan lingkungan
kelompok teman-temen sebayanya. Kerena fungsi inilah, pengembangan empati
dengan menstimulasikan anka dan remaja untuk menempatkan diri di tempat orang
lain, menurut Kohlberg merupakan sumbangan yang paling penting dari keluarga
dan kelompok sosial dalam perkembangan moral. Dalam suasana yang lebih
terstruktur dari pada yang terdapat dalam keluarga dan kelompok sosial, salah
satu cara untuk memperkembangkan empeti ini adalah permeinan peran (roll
playing), cara ini efektif baik untuk anak, remaja, maupun orang
dewasa.
Emosi jarang
diungkapkan melalui kata-kata, naming sering diungkapkan melelui isyarat. Kunci
untuk memahami perasan orang lain adalam mampu membaca pesan-pesan non-verbal.
Penelitian terlengkap mengenai kemampuan orang untuk membaca pesan-pesan
non-vebal telah dilakukan oleh Robert Rosenthal (dalam Goleman, 1996). Ia
menyusun tes empeti yaitu PONS (Profile of Nonvenbal Sensitivity, Profil
kepekaan nonvelbal), yaitu seringkali film video yang menampilkan sdegan-adegan
yang memperlihatkan sprektual perasaan mulai dari amarah, memohon ampunan,
berterima kasih, sampai merayu. Kemudian penonton diminta mendeteksi emosi dari
isyarat nonverbal khusus. Untuk mengetahui tingkat empati anak-anak dan remaja
ini dapat digunakan tes skala untuk mengukur empati dalam bentuk pernyataan-pernyataan
secara tertulis, yang menggembarkan berbagai macam perasaan perbincanganya.
Responden diminta untuk merespon pernyataan tersebut.
3. Kemampuan
Empati
Goleman (1997) menyatakan ada 3
(tiga) karakteristik kemampuan empati yaitu :
- Mampu menerima sudut pandang orang lain
Individu
mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan
reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif
seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman
terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan
mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat.
- Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
Individu
mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya
emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya
nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan
dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain, bukan sekedar
pengakuan saja.
- Mampu mendengarkan orang lain
Mendengarkan
merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan
empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap
perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang
terjadi.
Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses empati, antara lain :
- Sosialisasi
Dengan
adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami sejumlah emosi,
mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang
orang lain.
- Perkembangan kognitif
Empati dapat
berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang mengarah kepada kematangan
kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain
(berbeda)
- Mood dan Feeling
Situasi perasaan
seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara
seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain
- Situasi dan tempat
Situasi dan
tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang.
Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi
yang lain.
- Komunikasi
Pengungkapan
empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan
bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan
dalam proses empati. Kemampuan empati dapat dilatih atau diasah meskipun usia
seseorang telah beranjak dewasa. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar
kemampuan empati kita terbentuk.
4. Proses
Empati
Menurut Schultz (1991) proses empati
bertahap sebagai berikut:
- Membayangkan diri dalam kedudukan orang lain.
Orang yang tidak pernah membayangkan betapa susahnya menjadi petani, maka
dirinya tidak akan dapat menghargai hasil kerja dari petani tersebut.
Membayangkan diri seolah-olah menjadi orang lain yang sedang melakukan
pekerjaan berat atau merasakan seolah-oah sedang mendapat bencana akan
mampu menumbuhkan empati dalam diri terhadap suatu peristiwa yang
disaksikannya;
- Membandingkan sikap diri sendiri dengan sikap
yang dialami oleh orang lain. Memahami kondisi yang dialami orang lain
sangatlah sulit, maka dibutuhkan suatu pembelajaran bagaimana seandainya
diri sendiri menjadi atau dalam posisi tersebut, apakah juga akan berbuat
seperti yang dilakukan orang tersebut atau mempunyai tindakan lain;
- Mengambil kesimpulan-kesimpulan dari sikap
individu lain dan membandingkannya dengan reaksi khayal apabila berada
dalam keadaan yang di alami orang lain. Apabila individu dapat
membayangkan suatu peristiwa atau keadaan dan dirinya berada dalam situasi
tersebut, maka individu tersebut akan mempunyai sikap yang lebih nyata
untuk mengambil tindakan terhadap situasi dan kondisi yang dirasakan
secara langsung.
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa proses empati bertahap sebagai berikut:
- Membayangkan diri dalam kedudukan orang lain;
- Membandingkan sikap diri sendiri dengan sikap
yang dialami oleh orang lain;
- Mengambil kesimpulan-kesimpulan dari sikap
individu lain dan membandingkannya dengan reaksi khayal apabila berada
dalam keadaan yang di alami orang lain.
5. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Empati
Shapiro (1997) mengemukakan beberapa
faktor yang mempengaruhi empati yaitu:
- Faktor kognitif
Bertambah
matangnya wawasan dan ketrampilan kognitif, anak-anak secara bertahap belajar
mengenali tanda-tanda kesedihan orang lain dan mampu menyesuaikan kepeduliannya
dengan perilaku yang tepat;
- Faktor bawaan
Anak
laki-laki sama sosialnya dengan anak perempuan tetapi anak cenderung lebih suka
memberikan bantuan fisik atau bertindak sebagai pelindung. Sedangkan anak
perempuan lebih suka memberikan dukungan psikologis misalnya menghibur anak
lain yang sedang sedih;
- Faktor pendidikan
Pendidikan
khususnya pendidikan agama mengambil peranan penting dalam pelaksanaan empati
tersebut. Penerapan akan pendidikan agama dalam kehidupan sehari-hari justru
efektif dalam mempengaruhi anak;
- Keluarga
Penerapan
peraturan keluarga yang jelas, konsisten dan tidak mudah memberikan memberikan
keringanan kepada anak serta tuntutan akan tanggung jawab kepada anak tanpa
adanya imbalan apapun akan mempengaruhi serta menghasilkan anak yang peduli,
tanggung jawab, peka dan lebih penyayang;
- Pengalaman akan perilaku empati
Praktek akan
perilaku simpatik dapat mempengaruhi hidup manusia. Pelaksanaan kebaikan secara
acak dan melibatkan diri dalam kegiatan bermasyarakat akan mengajari anak akan
pengalaman untuk melakukan perilaku empati serta lebih peduli pada orang lain.
6.
Dasar-Dasar dalam Kemampuan untuk Berempati
Egan (1986)
mengemukakan bahwa ada dua kemampuan dasar dalam melakukan empati. Kemampuan
dasar tersebut merupakan suatu proses yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya dan selalu berjalan bersama-sama. Kemampuan dasar dalam berempati
tersebut adalah sebagai berikut:
- Attending
Sebelum
seseorang memberikan respon kepada orang lain dan segala sesuatu yang
berhubungan dengannya, maka orang tersebut pertama kali harus memperhatikan
orang lain dan mendengarkan secara hati-hati pada apa yang akan dikatakan. Apa
yang ingin dicapai ini bukanlah kemampuan seseorang untuk mengulangi kata-kata
orang lain. Attending membawah pada kehadiran seseorang secara utuh
sangat diharapkan, artinya adalah kehadiran baik secara fisik maupun secara
sosial emosional dari orang lain. Pietrofesa et.al (1978) mengatakan bahwa
perilaku attending secara khusus banyak terdapat dalam komunikasi non
verbal.
Perilaku attending
tersebut dapat mengkomunikasikan penghargaan, penuh perhatian pada orang lain
dan mencakup isi-isi yang penting untuk hubungan yang bertujuan membantu orang
lain (helping relationship). Hal ini dapat mengekspresikan pada orang
lain sebuah tingkatan yang saling menerima, membuktikan suatu persetujuan,
penolakan dan perbedaan dari seseorang dan secara sederhana merefleksikan
kemampuan dasar interpersonal yang baik dalam setiap aspek kehidupan manusia. Attending
yang baik menampilkan seseorang untuk mendengarkan secara penuh atau pada apa
yang dikatakan oleh orang lain baik secara verbal maupun non verbal. Sebuah
perilaku attending yang efektif mencakup:
1)
Kontak mata. Seseorang yang sedang
berbicara memandang pada mata tetapi hal ini bukanlah pandangan utama dan
satu-satunya yang akan menimbulkan suatu tekanan pada penerima. Hal ini dapat
dipertahankan untuk beberapa waktu yang agak panjang. Perilaku kontak mata
dapat menimbulkan kepercayaan seseorang maupun ketidakpercayaan seseorang pada
orang lain. Kepercayaan terhadap orang lain dapat timbul ketika seseorang tidak
memandang pada mata sehingga akan menimbulkan keadaan yang tidak nyaman bagi
dirinya, namun dengan penghindaran kontak mata dapat pula berarti suatu
penghargaan terhadap orang tersebut. Hal ini tergantung dan pengaruh dari
kebudayaan. Kontak mata dalam sebuah percakapan merupakan isi dasar yang
penting dalam perilaku attending (Pietrofesa, 1968).
2)
Posisi tubuh yang bergerak maju.
Mengindikasikan pengaruh yang utuh dari sebuah perilaku, misalnya keadaan untuk
siap kerja. Beberapa posisi dalam attending mungkin dapat membantu orang
lain untuk mendengarkan secara efektif.
3)
Posisi tubuh yang terbuka. Posisi
tubuh yang baik seharusnya tidak dengan menyilangkan tangan atau kaki karena
dapat mengindikasikan berpegang teguh pada diri sendiri pada tingkatan
tertentu.
4)
Menghadapi seseorang yang berbicara
secara utuh atau menyeluruh.
5)
Bersahabat dengan orang lain melalui
ekspresi wajah.
6)
Pemberian nilai yang tertunda,
artinya dalam attending seseorang memberikan nilai memperhatikan dengan
sungguh-sungguh dan tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan tentang orang
lain maupun masalah yang dihadapi oleh orang lain.
7)
Menghindari gangguan dari seseorang.
Dalam perilaku attending tersebut seseorang harus sadar dan
mengurangi gangguan yang berhubungan dengan hal-hal fisik sesedikit mungkin
8)
Active listening. Attending yang
baik akan memudahkan seseorang untuk mendengarkan secara hati-hati pada apa yang
dikatakan oleh orang lain baik secara verbal maupun non verbal (Egan,1986). Hal
ini disebabkan karena attending dan active listening merupakan
suatu proses yang berjalan secara beriringan dalam pelaksanaannya. Menurut
Verdeber (1996) mengemukakan bahwa dalam active listening mencakup tiga
hal yaitu:
·
Menghadirkan pengertian-pengertian
yang tepat pada apa yang dikatakan, melihat keluar tujuan yang berhubungan,
melihat tema-tema utama dan informasi yang mendukung
·
Mempertahankan informasi, mengingat
ulang informasi yang merupakan kunci dari masalah yang ada, menciptakan nemonik
mental untuk daftar-daftar ide dan kata-kata, membuat suatu catatan yang
penting;
·
Evaluation. Pada
evaluasi pendengar yang baik akan mendengarkan secara kritis, membedakan fakta
dari pendukung dan mengevaluasi pendukung masalah.
- Cara
Berempati
1. Keberhasilan empati adalah jika klien dapat memahami empati konselor,
sehingga dia percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya.
Untuk itu sebagai seorang konselor harus bisa memberikan empati yang efektif
untuk mencapai tujuannya, yaitu merasakan apa yang dirasakan klien. Dengan
demikian empati merupakan latihan yang snagat penting bagi konselor. Hal ini
agar konselor memiliki kepribadian yang mampu berkomunikasi dengan klien dan
dapat berkomunikasi yang baik dengan klien.
2. Dan untuk dapat merasakan apa yang dirasakan klien, dipikirkan dan dialami
klien, seorang konselor haruslah berusaha, sebagai berikut :
3. Melihat kerangka rujukan dunia-dalam klien atau kehidupan internal klien.
4. Menempatkan
diri kedalam persepsi internal klien.
5. Merasakan
apa yang dirasakan klien.
6. Berpikir
bersama klien, bukan berpikir tentang atau uuntuk klien.
7. Menjadi kaca
emosional /cermin perasaan klien
8. Usaha yang dilakukan di atas maka konselor akan dapat memberi kenyamanan
kepada klien dan setelah itu klien pun akan leluasa memberikan atau mencurahkan
isi hatinya. Karena jika konselor perpikir seperti yang diatas kemungkinan
kecil untuk tidak memotong pembicaraan klien.
9. Empati ini dilakukan oleh seorang konselor dengan menggunakan keterampilan
mempengaruhi dengan komponen-komponennya, keterbukaan diri, pengarahan, dan
penafisran. Sebab dengan adanya komponen tersebut maka empati akan menjadi
mendalam serta nilainya tinggi sehingga segera dapat mengubah perilaku klien.
10. Usaha seperti diatas maka barulah klien melakukan empati. Sebab empati akan
berhasil jika klien dapat memahami empati konselor. Sehingga dia percaya diri
untuk mengembangkan/ mencurahkan dan memecahkan masalahnya.
Maka ada cara berempati yang baik yang dikemukan oleh Sofyan S. Wilis dalam
bukunya yang berjudul Konseling Individual Dalam Teori Dan Praktek. Yakni
sebagai berikut:
1.
Kosongkan pikiran dari
rasa/sikap egoistic.
2.
Amati bahasa tubuh klien,
seperti emosi, air muka (mimik), gerak isyarat, dan gerakan yang membawa pesan
emosional.
3.
Rasakan kehidupan emosi klien,
dan berusaha berada dalam kehidupan internal klien.
4.
Amati verbal
klien yang membawa emosi.
5.
Intervensi
dengan persyaratan efektif, sesuai dengan keadaan emosi klien (refleksi feeling).
Dari urutan kegiatan di atas ada dua langkah penting untuk memahami emosi
klien melalui empati.Yakni : pertama secara tepat merasakan dunia klien melalui
perilakunya. Yang kedua adalah secara verbal konselor berbagi pengalaman dengan
klien. Dan jika ingin tahu bagaimana tebakan tentang emosi klien itu benar dan
jitu. Yaitu jika klien tersebut berkata “yah, itu yang saya maksud.”
Jadi dengan demikian untuk dapat memahami emosi klien, seorang konselor
harus melewati empati. Termasuk di dalamnya empati dengan cara masuk langsung
ke dunia klien melalui perilakunya. Seperti misalnya konselor melihat perilaku
klien saat memberikan wawancara. Dengan demikian akan memudahkan konselor ikut
dalam pikiran klien. Yang kedua adalah mengikuti alur yang dikatakan klien
(verbal klien). Jika klien merasa sedih dan mimiknya juga sedih maka konselor
juga harus demikian. Jangan sampai jika klien mnegatakan atau menceritakan
pengalamannya yang sedih, lalu konselor tersenyum atau tertawa. Hal ini tidak
akan membuat klien nyaman.
Kesimpulan
Empati
berasal kata pathos (dalam bahasa Yunani) yang berarti perasaan yang
mendalam. Empati pada awalanya di gunakan untuk menggambarkan suatu pengalaman
estetika ke dalam bagian bentuk kesenian. Empati berbeda dangan simpati. Perasaan
simpati sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang menggambarkan perasaan
seseorang kepada orang lain. Beda antara empati dan simpati
adalah, bahwa simpati lebih memusatkan perhatian pada perasaan diri sendiri
bagi orang lain, sementara itu perasaan orang lain atau lawan bicaranya kurang
diperhatikan. Sedangkan empati lebih memusatkan perasaanya pada kondisi orang
lain atau lawan bicaranya. Empati juga hubungan dengan bagaimana orang lain
merasakan diri saya, baik masalah saya maupun lingkungan saya.
Empati dan
rasa hormat timbal balik haruslah menjadi focus dari program-program
pembelajaran moral bagi anak dan remaja, kerena justru kemampuan untuk memahami
dari sudut pandang orang lain inilah yang akan membantu mereka dapat
berpartisipasi secara lebih penuh dalam keluarga, sekolah dan lingkungan
kelompok teman-temen sebayanya
Sumber:
Winarti, Euis. (2007). Pengembangan Kepribadian.
Jakarta : Graha Ilmu
Shohib, Muhammad. (2009). Empati dan Perilaku
Prososial. http://shohibmoe.wordpress.com/content/empati-dan-perilaku-prososial.
Di akses Tanggal 08 April 2015
Willis, Sofyan S. 2004.
Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta.